Bayu tak pernah menyangka hidup menikah bisa semahal ini. Saat dia dan istrinya, Dinda, memutuskan membeli rumah mungil di pinggiran Jakarta, mereka merasa telah membuat keputusan cerdas. Apalagi saat itu, pihak bank menawarkan KPR dengan bunga tetap 5% selama tiga tahun. Bayu menghitung cicilan dengan seksama dan merasa nyaman. Gajinya sebagai karyawan IT cukup untuk menutupi cicilan dan kebutuhan hidup sederhana mereka.
Tiga tahun berlalu cepat. Rumah itu kini penuh dengan suara tawa anak mereka, Raka, yang baru belajar berjalan. Namun saat surat pemberitahuan dari bank datang, senyum Bayu memudar.
“Bunga KPR kita naik jadi 12% per tahun, Din,” katanya sambil meletakkan surat di meja makan.
Dinda terdiam. “Naik segitu banyak?”
“Ya. Kita sekarang masuk masa bunga floating. Katanya ikut suku bunga acuan BI. Tapi tetap aja tinggi.”
Dinda menggigit bibirnya. “Jadi cicilan naik?”
Bayu mengangguk pelan. “Naik sejuta sebulan.”
Hari-hari berikutnya jadi lebih sunyi. Bayu mulai mengurangi jajan kopi. Dinda berhenti langganan sayuran organik yang dulu jadi kebanggaannya. Mereka mulai mencoret rencana liburan keluarga yang sudah ditabung setahun.
Suatu malam, Bayu menatap langit-langit kamar. “Harusnya aku ambil KPR yang fixed lebih lama, ya.”
Dinda menyentuh lengannya. “Kita nggak salah. Cuma belum tahu saja. Nggak apa-apa. Kita belajar.”
Keesokan harinya, Bayu mulai mencari opsi refinancing. Ia menelepon bank lain, membaca blog keuangan, dan belajar cara menghitung bunga efektif. Dua minggu kemudian, ia menemukan penawaran dari bank berbeda—bunga tetap 6% untuk lima tahun ke depan.
Setelah proses panjang, mereka berhasil pindah KPR ke bank baru. Cicilan kembali ke angka yang bisa mereka kendalikan.
Di teras rumah, sambil memangku Raka, Bayu tersenyum melihat halaman kecilnya.
“Rumah ini masih milik bank sih,” katanya bercanda. “Tapi setidaknya sekarang kita tahu cara bertahan.”